
PALEMBANG – Songket Palembang tidak hanya sekadar kain indah nan mewah, tetapi juga menyimpan makna filosofis yang dalam. Karya budaya asal Sumatera Selatan ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak tahun 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan nomor pencatatan 201300009 pada domain Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional.
Songket Palembang diyakini memiliki akar sejarah dari masa kejayaan Kemaharajaan Sriwijaya, yang pusat pemerintahannya berada di Palembang. Tidak heran jika kain songket kemudian menjadi simbol kejayaan, kemakmuran, dan keberanian masyarakatnya.
Lebih dari Sekadar Kain
Songket Palembang dikenal berbeda dari kain tenun lain karena menggunakan benang emas dan perak sebagai bahan dasar. Proses pembuatannya pun rumit, membutuhkan ketelitian serta kesabaran tinggi. Hal inilah yang membuat songket memiliki nilai ekonomi tinggi sekaligus prestise bagi pemakainya.
“Songket bukan hanya pakaian, tapi juga simbol status sosial dan kebanggaan budaya. Setiap motif punya cerita dan makna,” ungkap salah satu pengrajin songket di Palembang.
Khusus untuk pakaian adat, songket biasanya dipadukan dengan busana khas Palembang bernama Aesan Gede, yang melambangkan keagungan dan kemewahan.
Tersebar di Nusantara dan Asia Tenggara
Meski identik dengan Palembang, songket juga diproduksi di berbagai daerah lain, seperti Minangkabau (Pandai Sikek, Silungkang, Koto Gadang, Padang), Bali, Lombok, Sumba, Sambas, Makassar, hingga Sulawesi. Tradisi ini menyebar berkat perdagangan, perkawinan campuran, dan pengaruh Sriwijaya pada masa lampau.

Tak hanya di Indonesia, songket juga populer di negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Hal ini menjadikan songket sebagai salah satu warisan tekstil kebanggaan Asia Tenggara.
Cara Memakai yang Sarat Makna
Selain corak dan motif, cara memakai songket juga memiliki aturan khusus. Pada pria, kain songket disebut Rumpak (Bumpak), dikenakan dari pinggul hingga lutut. Jika pria sudah menikah, songket dipakai menutupi lutut, sementara bagi yang belum menikah panjangnya hanya sampai di atas lutut.
Sementara bagi perempuan, posisi kepala kain atau tumpal wajib berada di depan, dikenakan dari pinggul hingga mata kaki, mencerminkan keanggunan dan martabat wanita Palembang.
Warisan yang Harus Dijaga
Di tengah arus modernisasi, keberadaan songket Palembang terus dijaga melalui regenerasi pengrajin dan promosi budaya. Pemerintah daerah bersama komunitas budaya aktif mendorong agar songket tetap lestari dan mampu bersaing di pasar global sebagai produk budaya unggulan Indonesia.
Songket Palembang tidak hanya kain tradisional, melainkan identitas dan kebanggaan bangsa yang sudah menyeberangi batas ruang dan waktu.(rul)